KONSEP KESENIAN PROFETIK DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM


KONSEP KESENIAN PROFETIK

DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 

Wawan Kardiyanto

Institus Seni Indonesia (ISI) Surakarta

 

ABSTRAC

The research based on the background of art creation glowing that was influenced by the art concept for art it self (L’art pour L’art) the art concept for art show free value, aesthetic sense and truth more. The research tried to think about the prophetic art concept that would give advantage and clear purpose where the art has been brought, is must proportionally with action value, aesthetic sense and truth.

The religion and social figure tried to look for the answer in debating of the art value. This was based on the regions prophetic missions that have attention to maintain action value, aesthetic sense and truth. The regions prophetic mission is prophetic action via theology that becomes ideology of revolusioner that always raise the movement of civilization. This is the prophetic ethic movement, unite to the social implementation, including art.

The research knew and also understands the prophetic art practice in Islam education. Islam as rahmatan lil alamin that brings love, affection for universe of course care and join in maintaining truth, goodness, development of culture via art and education.

The research used literature method with Heuristic analysis method approach, is new understanding by doing description, reflection critic and make conclusion in agreement and opinion of prophetic art. Furthermore the research to make receipt of prophetic art implementation theoretically in Islam education. Prophetic art in Islam education is something that’s very important as the creativity of propagation method. Islam and prophetic art would make our environment more beautiful as in Moslem law.

 

Key Word: Art, Prophetic Art, Islamic Art, Islamic Studi

 

Pengantar

Pro-kontra masalah pornografi dan rencana akan disahkannya RUU Pornografi menjadi UU Pornografi di bulan Juni 2006 telah menjadi wacana yang cukup menarik akhir-akhir ini di negeri Indonesia yang berpenduduk, berbudaya dan beragama heterogen walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Salah satu isu yang mencuat seiring munculnya wacana RUU Pornografi, adalah dikhawatirkan UU tersebut akan memberangus naturalitas budaya bangsa yang heterogen dan kreativitas karya seni yang membentuk warna kebudayaan bangsa.

Lepas dari persoalan pro-kontra RUU Pornografi mungkin kita perlu mengambil titik temu dan benang merah yang mesti kembali kita bedah dan renungi bersama, yaitu apakah tujuan sebenarnya RUU Pornografi dan juga apakah sebenarnya tujuan sebuah karya seni yang dapat membentuk sebuah kebudayaan yang baik dan adiluhung?

Sebagian besar wajah kesenian abad ini, memang cenderung dikaitkan dengan hal yang negatif, sex, dan berbagai fantasi yang tidak baik. Yang dimaksudkan dengan fantasi tidak baik itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-bentuk pemanjaan diri sendiri, tidak etis dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.

Ridwan Pinat, dalam artikelnya yang berjudul “Men of Ideas” sebuah resensi buku Brian Magee, 1982, Men of Ideas: Some Creators of Contemporary Philosophy, Oxford : Oxford paperback mengetengahkan, menurut Murdoch, memang benar bahwa lebih banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di sekitar kita. Ironisnya orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu daripada yang baik. Bahkan, Plato bapak filsafat Yunani berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang baik.

Bryan Maggee dalam dialognya di buku itu mempertanyakan, apakah kritik semacam itu hanya berlaku untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab pertanyaan ini, Irish Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai seni, dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai, seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.

Lalu karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi, bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaan kita untuk berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan.  Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya.

Seni yang bagus, karya seni yang besar, kata filosof wanita itu pula, adalah karya seni yang bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kepuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat kita bertenggang rasa dan lapang dada. (R.Pinat@cwcom.net, apakabar@radix.net).

Beberapa ulasan para filosof tersebut kalau kita mengembalikan kesenian menuju tujuan dasarnya menurut falsafahnya, yakni kesenian yang baik selalu menghasilkan estetika yang baik pula, dan puncak estetika Platonis adalah keindahan mutlak, yaitu keindahan Tuhan. Kecenderungan kesenian mengarah kepada hal yang positif memang sangat terasa diungkapkan para bapak-bapak filosof kuno di Yunani. Selebihnya kalau ada estetika Platonis yang menuju keindahan Tuhan, Plato juga menyebut watak dan hukum yang indah. Aristoteles mengatakan, keindahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan baik. Plotinus bicara tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Kemudian orang Yunani membincangkan tentang buah pikiran dan adat kebiasaan yang indah. Dalam pengertian yang luas, keindahan itu tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan intelek yang indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat Bagus, Baik dan Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu bersifat holistik dalam keharmonisan. (Gazalba, 1988: 118).

Menurut Sidi Gazalba “Bagus” merupakan bagian dari aspek kesenian dan estetika, “Baik” dalam ranah etika dan “Benar” lebih condong mengarah kepada Ilmu dan Agama. Tetapi semuanya itu menurut Sidi dalam filsafat pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi ketiga-tiganya baik itu Bagus, Baik dan Benar secara holistik dan komprehensif.

Kita perlu menelisik kembali makna-makna kesenian yang positif tersebut yang saat ini terasa sudah tercerabut dari karya-karya seni dan bahkan dalam wacana filsafat seni. Selayaknya agama dan juga filsafat yang mempunyai arah dan tujuannya yang jelas dan pasti, konsep seni dalam filsafat seni mestinya juga dapat dikuak dan didapati arah dan tujuan berkesenian yang mencerahkan. Visi dan misi seni perlu dikembalikan kepada jalannya yang “lurus dan benar”. Konsep Kesenian Profetik yang akan penulis tawarkan tentu akan lebih mewarnai dan menguatkan arah tujuan kesenian dan filsafat seni yang telah dirumuskan oleh para filosof dan pemikir seni abad kuno Yunani-Romawi.

Kesenian dalam pendidikan sangat erat hubungannya. Karya seni sering dijadikan alat untuk mendidik siswa dalam pengenalan tentang keindahan. Pendidikan Islam yang berlandaskan pada konsep filsafat Islam mengajarkan bahwa konsep pengetahuan di dalam Islam tidak mengenal batas-batas parsial ataupun dualisme pengetahuan yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bagi Islam semua ilmu pengetahuan itu satu dengan lainnya memiliki hubungan sinergisitas yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan secara mutlak. Sehingga apa yang dirumuskan Sidi Gazalba di atas bahwa Kesenian, Etika, Agama dan Ilmu mempunyai relasi sinergisitas yang tidak terpisahkan adalah benar adanya bagi konsep pendidikan Islam.

Pendidikan Islam, adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Husain dan Ashraf, 1986 : 2), atau “Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Nahlawi, 1995 : 26).

Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training“, ….tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan (Achwan, 1991 : 50). Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Searah dengan filosofi pendidikan Islam, seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni.  Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah  hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah  bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah. Di sinilah arti penting mengungkapkan gagasan orisinil konsep Kesenian Profetik ke dalam wacana Filsafat Kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Agama Islam.

Berdasarkan latar belakang masalah di muka, diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana paradigma berkesenian kontemporer? Apakah gagasan seni profetik dimungkinkan untuk ikut mewarnai eksistensi seni dalam peradaban manusia? Bagaimana implementasi gagasan kesenian profetik ini di dalam pendidikan Agama Islam?

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian dan analisis falsafati di bidang filsafat kesenian, filsafat Islam kontemporer dan menggagas kajian baru konsep kesenian profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa penerapan wacana konsep kesenian profetik dalam wacana filsafat kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam dapat dimungkinkan.

Penelitian ini berguna untuk lebih memperkaya dan menghasilkan wawasan baru cara berkesenian, dan juga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengembangkan wacana alternatif pengetahuan baru di bidang pendidikan. Secara praktis penelitian ini diniatkan untuk menjawab keingintahuan peneliti terhadap nuansa baru bagaimana kita dapat berkesenian dengan bagus, baik dan benar sesuai dengan tujuan dan cita-cita luhur berkesenian dalam filsafat seni yang telah dirumuskan oleh filosof-filosof pada abad Yunani dan Romawi kuno.

 

Pendekatan dan kerangka teori

Konsep atau gagasan seni profetik adalah sesuatu ide yang dapat penulis katakan baru. Sebab, belum penulis dapatkan referensi hasil penelitian konsep maupun teoritisnya di lapangan pustaka. Untuk itu beberapa tinjauan pustaka yang dapat diketengahkan di sini hanya sumber second, maksudnya bukan sumber utama  yang digunakan untuk melandasi ide pemikiran tentang kesenian profetik. Beberapa sumber tersebut adalah sebagai berikut:

Konsep Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan. 1991). Kuntowijoyo dalam buku tersebut mengetengahkan sebuah tawaran baru berupa gagasan konsep tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik menurut Kunto tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuan dan mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya.

Buku Kuntowijoyo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Maklumat sastra profetik adalah kelanjutan aplikasi konsep Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetiknya. Sebagai penggagas paradigma sosial profetik Kuntowijoyo secara konsisten mengumumkan bahwa karya-karya sastranya ia maklumatkan sebagai sebuah karya sastra profetik. Kuntowijoyo menyatakan bahwa Sastra Profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas.

Buku Sidi Gazalba, 1988, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan Seni Budaya Karya Manusia, Pustaka Alhusna, Jakarta.  Sidi Gazalba dalam konsep Filsafat Islam menyatakan bahwa kedudukan seni dalam Islam adalah dibagian wilayah kebudayaan, sedangkan kebudayaan sendiri bagian dari Dien Islam. Dien Islam itu sempurna. Yang sempurna mengandung nilai 3B (Benar, Baik dan Bagus). Benar ada di wilayah ilmu dan agama (pen. Islam), Baik di wilayah etika dan Bagus di wilayah estetika (seni). Sesuatu yang benar akan sempurna kalau ia juga baik dan bagus. Dan sesuatu yang bagus akan sempurna, kalau ia juga benar dan baik. Sesuatu dikatakan benar kalau sesuatu itu sesuai dengan obyeknya. Sesuatu itu baik, kalau ia mengandung nilai etik, dan sesuatu itu bagus, kalau ia mengandung nilai estetis (Gazalba, 1988: 118).

Buku, Muhammad Iqbal, 1966, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought In Islam), alih bahasa Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang.  Etika Profetik Iqbal yang menjadi landasan konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo wajib penulis paparkan sebagai pijakan utama gagasan kesenian profetik di samping konsep Ilmu Sosial Profetiknya Kuntowijoyo.

Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika transformatif. Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran sosial. Baginya keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistis adalah tujuan, sehingga ia tidak hendak kembali dan melihat realitas, menghadapi kenyataan. Nabi bukanlah seorang mistikus. Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya sang Nabi adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformatif. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner (Iqbal, 1996 : 145).

Penulis dengan pendekatan multidisipliner mencoba mengetengahkan beberapa teori yang diharapkan dapat membangun gagasan (konsep) baru atau memodifikasi teori berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan dianalisis. Beberapa kerangka teori yang penulis ketengahkan mencakup: teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu tindakan aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory). Kesatuan sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam) ini menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan sistem diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat meningkatkan kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat mempertahankan keseimbangannya (fungsionalisme struktural).

Berdasarkan ketiga teori yakni; teori sistem, teori aksi dan teori fungsional, kita dapat memahami bahwa kesenian dengan karya seninya layak mempunyai nilai-nilai, makna dan tujuan berkesenian. Seni untuk seni yang bebas nilai ditepis dalam teori-teori tersebut. Di samping beberapa teori tersebut, penulis juga berpijak dari beberapa konsep seperti Seni untuk masyarakat, konsep seni Islam Sidi Gazalba, Ilmu Sosial Profetik dan Sastra Profetiknya Kuntowijoyo yang dilandasi etika profetik Iqbal, serta gerakan teologi profetik. Penulis dengan optimis yakin bahwa gagasan Seni Profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini sangat relevan untuk digali dan dikembangkan.

Pendidikan Seni Islam menurut Sidi Gazalba juga memiliki ranah yang penting di dalam wacana keilmuan, bahkan estetika/seni menjadi salah satu unsur dari nilai kebijaksanaan universal sejajar dengan ilmu, agama dan etika (Gazalba, 1988:65). Namun perlu diakui hingga saat ini kebanyakan ulama masih berpendapat negatif terhadap kesenian ini. Hal ini perlu diluruskan kebenarannya bagaimana sebenarnya konsep pendidikan seni dalam Islam.

Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Naquib Al-attas, harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu termasuk di dalamnya kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam.

Untuk mengetahui dan meneliti kelayakan gagasan baru konsep kesenian profetik dalam wacana filsafat kesenian, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan lebih banyak melakukan kajian pustaka.  Obyek dalam penelitian ini adalah konsep-konsep tentang ilmu kesenian, yaitu seni, estetika, filsafat seni, Filsafat Islam, pendidikan Islam dan multi disiplin ilmu yang melingkupinya.

Penelitian ini menggunakan data pustaka yang diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder.  Sumber data primer adalah daftar pustaka yang secara langsung membahas konsep-konsep ilmu kesenian, ilmu keislaman dan data sekunder adalah daftar pustaka yang secara tidak langsung melingkupi wacana kesenian dan keislaman yang bersifat berwujud multi disipliner.

Penulisan tesis ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat deskriptif komparatif dengan sudut pandang filsafat kesenian, filsafat Islam, dan pendidikan Islam.

Adapun metode yang digunakan adalah metode Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Di samping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990).

 

Paradigma Seni Kontemporer yang “Ambigu”

Setelah meneliti sejarah perkembangan pemikiran tentang seni, estetika hingga filsafat seni dari jaman Yunani hingga saat ini, dapat dideskripsikan bahwa paradigma seni baik mengenai konsep atau teori-teori seni telah mengalami perkembangan  yang menurut penulis tidak mempunyai arah. Khusus tujuan seni, telah berkembang dua opsi tujuan seni, yaitu seni bertujuan dan seni tidak bertujuan (bebas nilai).

Seni bertujuan dalam sejarah seni porsi penganutnya mulai terhimpit oleh berkembangan konsep dan teori seni tanpa tujuan pasca abad 20. Semboyan L’art pour L’art yang termasyhur untuk seni tanpa tujuan pertama kali dipergunakan oleh seorang filosof Victor Cousin (1792-1867).  Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggungjawab profesional. Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada kepentingan politik, ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada waktu itu dengan dalih untuk mengembalikan kemurnian status seni.

Di sisi lain mengenai nilai seni, menurut Fathul A. Husein, 2000, dalam artikelnya berjudul: Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur, pada permulaan abad ke-20, estetikus Italia, Benedetto Croce diyakini banyak kalangan sebagai pemula yang memudarkan nilai-nilai keindahan sebagai tujuan akhir seni sebagai topik sentral dalam teori estetika sejak zaman Yunani hingga Idealisme Eropa abad ke-19. Croce menggeser konsepsi keindahan dengan konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf dengan ekspresi dan juga setaraf dengan intuisi, dan bahwa keindahan tak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. Atau menurut Melvin Rader, keindahan tiada lain dari essensi yang berhasil diungkapkan. “Ekspresi dan keindahan bukanlah dua konsep berbeda, melainkan sebuah konsep tunggal”, cetus Croce. Pemikiran Croce setidaknya telah sangat dominan mempengaruhi pemikiran-pemikiran estetika sepanjang tiga dekade. Baru kemudian orang menangkap semacam adanya paradoks: jika seni identik dengan ekspresi, dan keindahan juga identik dengan ekspresi, maka bukankah keindahan itu merupakan esensi dari seni? Namun Croce tetap kukuh pada pendirian bahwa ekspresi dan intuisi merupakan konsepsi dasar dari mana estetika bisa dipahami.

Pemikiran estetika yang kontras terhadap konsepsi keindahan selain Croce setidaknya muncul dari dua pemikir seni amat penting di abad ke-20, yaitu Clive Bell dan Roger Fry. Pada dekade kedua abad tersebut, keduanyalah yang menggeser konsepsi keindahan dengan manifestasi bentuk signifikan (significant form), yang terkesan Platonik dan terpengaruh kuat oleh filsafat moral G.E. Moore.

Fathul lebih jauh dalam artikelnya tersebut menyatakan bahwa abad ke-20 ditengarai sebagai abad pertama yang menyangkal eksistensi keindahan secara kategoris, dan juga kuatnya penolakan keras seniman-seniman kreatif atas konsepsi keindahan; bukan saja dari kaum Dadais, black theatre, theatre of cruelty, bahkan kemudian kaum Pop Art dan gerakan-gerakan sejenis yang lebih kecil, melainkan juga dari kalangan seniman yang jauh lebih serius seperti pelukis-pelukis ekspresionis dan penulis-penulis drama ideologis yang merasa pencapaian keindahan bukan tujuan yang utama dari seni. Mereka lebih memilih menceburkan diri ke dalam intensifikasi pengalaman dan radikalisasi perasaan ketimbang terbuai oleh keindahan.

Pelopor awal manifesto pergerakan filsafat linguistik modern pada awal tahun 20-an, seperti C.K. Ogden dan I.A. Richards, bahkan menggunakan istilah keindahan dalam forum-forum diskusi demi menunjukkan kualitas emotif dari pergolakan batin. Dan di tahun 40-an, para penerusnya secara olok-olok mempermainkan kata beauty (keindahan) dengan booty (barang rampasan), sekadar untuk menunjukkan bahwa pernyataan apapun yang terkait dengan keindahan atau apapun yang dianggap indah sebagai nir-makna (meaningless). Sebuah pertentangan sengit yang sebetulnya mula pertama mencuat kuat dari kaum Realis dan Naturalis Prancis abad ke-19 seperti Flaubert dan Zola, tentu dalam cara yang berbeda, yang karya-karyanya dipersiapkan justru untuk membuang aspek-aspek keindahan agar visi-visi kebenaran mereka tertemukan (Fathul, 2000).

Bagi Fathul, pembahasan tentang konsepsi keindahan dalam karya seni kini semakin terasa problematis. Seni tampaknya telah semakin tidak memerlukan lagi menara gading yang malah berpretensi menyembunyikan mutiara hakikat di belantara realitas. Seni cenderung mau membetot kebenaran eksistensial dan eksperiensial dengan melepas topeng-topeng kepalsuan berwajah keindahan. Bahwa “keindahan” masih banyak dipakai, itu bukan melulu tujuan utama melainkan hanya sebuah cara.

Seni-seni mutakhir kata Fathul, tampaknya akan semakin mengganggu, mengusik, menyakiti, memprovokasi bahkan memancing gundah hati. Karena realitas sesungguhnya memang lebih banyak menawarkan warna-warna kelam kehidupan setelah puncak penghambaan manusia atas rasionalitas modern yang hanya menghasilkan mesin-mesin perang yang memicu perseteruan tidak berujung-pangkal di tengah bergelimpangannya bangkai-bangkai dehumanistik manusia. Perang Dunia I dan II menjadi salah-satu bukti terbesar yang memompa frustrasi dan depresi di tengah dekadensi.

Tonggak-tonggak peradaban dan sandaran nilai-nilai telah menjadi seperti sebongkah kepala babi busuk yang dipamerkan seorang seniman instalasi. Atau seperti semburat orgasme seorang aktor di atas panggung Dadais pada tahun 20-an di Eropa. Atau seperti bongkahan tubuh-tubuh binatang yang disembelih di atas pentas teater kaum Naturalis. Atau seperti lukisan surealis Salvador Dali, Wajah Peperangan, berupa gambar-gambar tengkorak penuh tengkorak. Atau seperti jerit hampa dan geliat tubuh mistik dari sejarah kekelaman estetika Butoh (dance of darkness) para seniman kontemporer Jepang yang meresistensi stagnasi tradisi dengan seabrek citra keindahan estetik yang membokong realitas. Seni menjadi refleksi yang mengumandangkan suara parau dari lapis-lapis kekelaman nihilistik di tengah kekosongan ontologis (ontological void) setelah sandaran-sandaran horizontal bahkan vertikal manusia “diruntuhkan”. Konsep-konsep estetik diberangus oleh kepalan-kepalan anti-estetik seperti Monalisa yang dikasih kumis dalam karya Dadais berjudul Shaved (bercukur) Marcel Duchamp. Manusia menjadi kembara absurditas yang tak menemukan jawab apapun setelah terbetot lubang kelam irrasionalitas (Kardiyanto, 2006 : 362).

Situasi-situasi nirmakna atas ketiadaan tatanan nilai apapun kemudian seolah-olah memaksa estetika/filsafat seni mutakhir untuk ditelaah dalam sudut pandang suram, “seperti anak terbelakang yang lahir dari sepasang orang tua glamor, yakni pokok persoalan dan disiplin estetikanya itu sendiri”, seperti dikemukakan filosof seni kontemporer Arthur C. Danto. Filsafat abad ke-20 bahkan telah menjadi bidang keahlian yang terlalu teknis untuk mampu menggerus dan menemukan kembali struktur-struktur paling fundamental dari pengembaraan pemikiran, bahasa, logika, dan ilmu-pengetahuan. Bahkan “pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang seni sangat tidak jelas dan tidak kena sasaran, sementara jawaban-jawabannya sangat kabur”, cetus Danto. Filosof seni kontemporer yang lain, John Passmore, menyebut situasi kemerosotan peran estetika secara akurat dengan mengedepankan istilah The Dreariness of Aesthetics (Kekeringan Estetika) (Kardiyanto, 2006 : 362).

Di sudut lain, kaum Estetika Relasional (relational aesthetics/arts), seperti Michel Serres, terus menggusur esensialisme seni kepada salah-satu trend terpenting pemikiran kontemporer yang menegaskan bahwa keterikatan satu dengan lain hal adalah jauh lebih penting ketimbang hakikat makna dari sebuah obyek (karya seni) yang tinggal sendirian. “Kita tidak lagi memerlukan ontologi melainkan desmologi (desmos = link),” kata Serres. Ia ingin menekankan bahwa upaya pengkajian makna adalah hampa dan sia-sia, dan harus digantikan oleh pengkajian atas proses itu sendiri. Nilai seni tidak lagi ditentukan oleh makna-makna yang terkandung di dalamnya, melainkan oleh apa yang bisa dilakukannya, perbedaan-perbedaan apa yang bisa dirangkulnya, cetus Gilles Deleuze, karena obyek seni tidak lagi ditentukan secara material maupun konseptual melainkan secara relasional, cetus Nicholas Bourriaud.

Pemikiran-pemikiran estetik yang tumpang tindih itu, maka memang tidak berlebihan jika pelukis Barnett Newman mencetuskan kata-kata parodi, seperti dikutip di atas, bahwa estetika (baca: filsafat seni) bagi para seniman laksana ilmu burung bagi burung-burung. Burung-burung akan selalu terbang dalam cara dan gayanya sendiri tanpa pernah perlu tahu bagaimana sih ilmu terbang untuk burung-burung? Begitu pun para seniman, mereka akan terus berkarya untuk menggali makna-makna terdalam dari realitas kehidupan dalam cara dan gayanya sendiri-sendiri. Tidak lain untuk menyuarakan gejolak-gejolak esoteris atas apa yang diyakininya sebagai kebenaran sejati, walaupun kerap terasa aneh dan konyol, tanpa harus terlalu terpengaruh oleh tumpang-tindih pemikiran-pemikiran ‘orang pintar’ yang menyeret seni terlalu ke wilayah diskursivitas-intelektual ketimbang intensifikasi perasaan, insight philosophy ketimbang insight aesthetic, begitu menurut Sussanne K. Langer (Kardiyanto, 2006 : 363)..

Kegalauan arah tujuan kesenian di abad ke-20 yang tergambar begitu memilukan tersebut tentu memerlukan keryit dahi untuk mencoba kita mengembalikan kesenian dengan filsafat estetikanya kepada tujuan dasarnya (return to basic).  Going to nature, dan kembali menengok ke belakang adalah kata bijak yang sangat bertuah. Kesenian dan estetikanya wajib kembali back to basic mengarah ke tujuan utamanya yang tertinggi, yaitu menggapai kebenaran, kebaikan, keadilan dan keindahan Ilahi. Untuk menguatkan dan membantu mengembalikan kesenian pada Khitohnya tersebut, konsep kesenian profetik yang penulis tawarkan tentu akan lebih memperkaya nilai-nilai keindahan, kebenaran dan wacana konsep kesenian yang bersifat positif, dengan harapan kesenian dapat mengembalikan eksistensinya mencapai tujuan estetikanya yang selama ini terseok-seok tanpa makna di jalan yang terjal.

 

Gagasan Seni Profetik, Peluang dan Tantangan

Peradaban manusia yang maju tidak hanya melahirkan bentuk-bentuk karya seni yang semakin beragam dan kom­pleks, tapi media yang dipakai juga sangat bera­gam pula. Semua bentuk seni berkembang sesuai dengan dimensi peradaban­nya. Seni musik, cinematografi, teater, sastra, arsitektur, sudah demikian ma­junya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam setiap masa, karya seni merupa­kan satu kebutuhan.

Dalam peradaban modern, karya seni juga terwarnai oleh budaya modern yang bersifat sekuler. Warna tersebut bisa be­rupa bentuk, isi, atau aplikasinya de­ngan kemajuan teknologi. Karena itu, sejalan dengan transformasi budaya, seni pun tidak terlepas dari proses transfor­masi itu sendiri. Pada kondisi inilah krea­tivitas seniman dipertanyakan.

Peradab­an yang maju demikian pesat, membuat masyarakat sudah mulai jenuh terhadap perkembangan dunia modern. Peradaban modern oleh banyak pihak dianggap tidak lagi mampu mem­berikan visi baru dalam tatanan kehidup­an. Dogmatisme modern yang selalu menekankan pada ‘kebenaran yang di­landasi “progress, rasionalitas, dan tek­nologi” ternyata banyak dipandang seba­gai satu ideologi dan menjebak manusia dalam kerangka pikir sekuler. Manusia lebih menonjolkan aspek struktur (basis material) dibanding suprastruktur (basis kesadaran). Inilah budaya Barat yang bertolak dari pemikiran Marxis. Masya­rakat akhirnya tidak puas dengan pemi­kiran itu karena hanya terombang­-ambing antara materialis dan ideologi tanpa berkesudahan (Kuntowidjojo, 1997). Persoalan itu oleh Gede Parma dianggap sebagai pangkal tumbuhnya konflik-konflik di dunia, termasuk di In­donesia (Gede Parma, 1993: 4). Dilihat dari sisi ini, dapat disebutkan bahwa ma­syarakat mulai jenuh terhadap moder­nisasi. Mereka mulai menuntut kerangka peradaban baru dengan tata nilai yang lebih terbuka. Transformasi budaya ter­sebut oleh para pemikir diprediksi seba­gai era post-modernisme.

Tuntutan keterbukaan, secara tidak langsung sebenarnya membuka pe­luang bagi sosialisasi nilai-nilai profetik. Dengan nilai-nilai tersebut, pada hakikatnya Islam mempunyai kemampuan untuk membalik rumusan dari struktur (material) ke suprastruktur (kesadaran) menjadi suprastruktur (kesa­daran) ke struktur (material). Basis pengembangan yang dapat dipakai dalam mengubah pandangan tersebut bisa ber­bagai macam seperti melalui ilmu penge­tahuan, teknologi, sosial, dan seni buda­ya atau melalui aktivitas IPTEK profetik.

Dalam konteks seni budaya, pengem­bangan nilai-nilai profetik  sebagai dasar kreativitas tampaknya belum di­garap secara maksimal. Latar belakang ditulisnya tema mengagas kesenian profetik dalam wacana filsafat seni ini adalah berkembangnya konsep-konsep dan teori-teori seni dimana sekarang telah terjadi arus besar kesenian diarahkan menuju “seni hanya untuk seni”, seni adalah bebas nilai, seni bukan untuk kepentingan masyarakat dan kemanusiaan, seni adalah sekedar ekspresi. Arus besar teori “seni hanya untuk seni” secara langsung maupun tidak langsung telah membuka para seniman menjadi seniman-seniman yang liberal dalam artian yang tanpa batas. Tanpa batas ini menyebabkan karya seni menjadi semaunya sendiri, berkembang melanggar nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahannya sendiri. Seni tidak lagi dinilai mempunyai manfaat atau tidak bagi masyarakat, positif atau negatif, baik atau buruk dan benar atau tidak benar. Padahal seni senyatanya adalah salah satu dari kasanah nilai-nilai kebijaksanaan universal, Seni, Agama, filsafat dan ilmu mesti bersinergi berjihad memihak kepada sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang positif; kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan dan kebahagiaan manusia.

Mayoritas konsep dan teori seni di awal hingga akhir sejarah perkembangan seni dan estetika telah membuktikan bahwa konsep dan teori seni dan estetika tidak lepas dari wacana sinergisitas seni, filsafat, agama dan ilmu. Konsep-konsep seni atas, seni tinggi, seni bermasyarakat, seni sosial, seni bermanfaat, seni adalah keindahan Tuhan, seni bertujuan, seni berkeadilan, dan lain sebagainya adalah wujud nyata bahwa seni mengandung nilai-nilai profetik. Nilai-nilai profetik yang ada di dalam seni ini adalah sebuah bukti bahwa setidaknya seni sebagai ekspresi jiwa mempunyai tujuan yang sangat mulia.

Seni bagi penulis adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekpresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Nilai-nilai keabadian sejati senantiasa mengarah kepada Tuhan. Dengan demikian kesenian juga sebuah wacana dan media untuk mengabdi kepada Tuhan. Kesenian yang demikian sebutan yang lebih tepat baginya adalah Kesenian Profetik.

Konsep kesenian profetik memang belum penulis temui dalam wacana kesenian dan filsafat seni, baik dalam wacana konsep barat maupun timur. Yang dapat ditemui dan sering disebut-sebut ada konsep kesenian religius (seni agama), tetapi konsep kesenian profetik berbeda dengan konsep kesenian religius. Konsep kesenian profetik yang penulis gagas di sini dihasilkan dari perasan setelah menganalisis dari konsep-konsep dan teori-teori yang secara tidak langsung membahas dan setidaknya mengarah pada tema Seni Profetik. Konsep-konsep dan teori-teori tersebut adalah;

1.    Konsep Seni Islam Sidi Gazalba yang menempatkan seni (Indah/Bagus) sejajar dengan “Benar” (Agama dan Ilmu), dan “Baik” (etika) sebagai bagian dari nilai-nilai keabadian universal (sejagad).

2.    Konsep Teologi Profetik Suhermanto Ja’far yang melandasi bahwa agama-agama dengan kreatifitas kenabiannya menghendaki terjadinya keseimbangan di setiap lini eksistensi manifes kreatifitas manusia. Kebekuan-kebekuan atau tembok-tembok pengetahuan yang tertutup satu sama lain senyatanya memiliki sinergisitas yang saling melengkapi kebenaran Tuhan, demikian pula di wilayah seni.

3.    Konsep Etika Profetik Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya sang Nabi dari langit adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformatif. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner. Etika profetik Iqbal ini dapat digunakan seorang seniman untuk menghasilkan karya-karya seni profetik yang revolusioner yang dapat merubah kebudayaan masyarakat.

4.    Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan Sastra Profetik Kuntowidjojo secara nyata secara tidak langsung telah mengetengahkan gagasan seni profetik. ISP maupun sastra profetik Kuntowidjojo dilandasi tiga pilar; humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowidjojo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya. Liberasi artinya dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya justru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

5.    Beberapa Teori untuk menjelaskan eksistensi seni dalam masyarakat. Teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu tindakan aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory). Kesatuan sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam) ini menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan sistem diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat meningkatkan kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat mempertahankan keseimbangannya (fungsionalisme struktural).

6.    Beberapa konsep seni para pemikir dan pelaku seni, seperti konsep seni ekspresi ego Iqbal beserta fungsi seninya, Konsep seni tauhid Ismail Raji’ al-Faruqi, konsep seni Islam spiritualnya Sayyed Hosein Nasr, konsep estetika sufistik Rumi, konsep seni kesatuan universalitas-partikularitas Hegel, konsep seni ekspresi dan fungsi seni Tolstoy dan banyak yang lain, pada kenyataannya mengetengahkan bahwa seni bertujuan (seni untuk masyarakat) adalah senyatanya sangat penting selalu didengungkan untuk tujuan mulia kemanusiaan.

Beberapa konsep dan teori di atas mendasari rumusan kaidah gagasan seni profetik penulis, sebagai berikut:

Seni sebenarnya tidak jauh berbeda dengan agama, dan ilmu yang sama-sama mengemban wacana-wacana kearifan universal seperti keindahan, kebaikan dan kebenaran. Seni yang dihasilkan oleh kesadaran kearifan universal akan menjadi lebih bermakna dan lebih berharga daripada seni yang dihasilkan hanya sekedar untuk seni, ia hanya akan menjadi seonggok sampah tak berguna yang hanya mampu memuaskan nafsu sesaat manusia. Seni yang menyuarakan nilai-nilai ketuhanan itu laksana seruan mulut para nabi dan rasul yang membawa manusia ke jalan keindahan hidup, keadilan, kebenaran, kedamaian, keselamatan dan kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin: Islam). Kesenian yang mampu berbuat demikian dapat kita sebut kesenian profetik. Dengan demikian kesenian profetik bisa melengkapi nama-nama atau jenis-jenis seni yang telah ada, seperti kesenian religi, kesenian agama, Seni Islam, seni Kristen, seni Hindu, kesenian lokal, seni suci, seni atas, seni bertujuan, seni untuk masyarakat dan lain sebagainya.

Dalam kasanah Islam khususnya, karena penulis adalah muslim, patronase seni Islam sudah saatnya harus disesuaikan dengan perkembangan peradaban. Da­lam hal ini bentuk-bentuk kesenian, tidak mungkin hanya terbatas pada model seni Islam, melainkan harus mampu beradaptasi dengan bentuk-ben­tuk seni kontemporer. Yang terpenting, bagaimana nilai-nilai Islam dibumikan menjadi nilai-nilai seni profetik dan dile­takkan sebagai dasar kreativitas seni profetik yang dihasilkan. Implikasi dari model seni seperti ini bisa jadi secara visual ben­tuknya tidak seperti seni Islam dalam ter­minologi tradisional.

Di Indonesia, fenomena pengem­bangan “seni profetik” tersebut misalnya bisa dili­hat ada pada seni sastra karya-karya Sutardji Calzoem Bachri, Danarto, Abdul Hadi WM, Hamka, Emha Ainun Nadjib, A.A. Navis, dan lainnya. Memang tidak semua karya yang mereka hasilkan bermuatan nilai-nilai profetik Islam, tetapi beberapa karya seperti “Q O, Amuk” (Sutardji); “Adam Ma’rifat, Rintrik, Asmaradana, Armagedon” (Danarto); “Slilit Kiai” (Emha); “Robohnya Surau Kami” (A.A. Navis), dan lainnya jelas menunjukkan adanya upaya pencarian hakikat ketu­hanan dalam konsep spiritualisme Islam.

Dalam bidang musik, dapat kita lihat musik-musik kontemporer seperti yang diciptakan grup “Kantata Taqwa” Iwan Fals dan Setiawan Jodi, grup Soneta Rho­ma Irama, atau Bimbo. Berdasarkan ben­tuk dan aliran musiknya, mereka jelas tidak bisa disebut sebagai musik Islam dalam arti tradisi. Namun secara sub­stansial lagu-lagu yang mereka ciptakan sebagian besar didasari nilai-nilai Islam.

Fenomena lain yang tidak kalah me­narik adalah reaktualisasi seni tradisi yang digarap oleh Emha Ainun Nadjib dengan kelompok Kiai Kanjeng. Secara berkala seni tradisi seperti wayang atau garapan baru musik tradisi Jawa ternyata telah dijadikan media dakwah pada se­tiap bulan purnama di desa kelahiran Emha, yang kemudian terkenal dengan tradisi Padang Bulan. Yang perlu dicer­mati adalah kemampuan kelompok-ke­lompok tersebut dalam menyedot pe­nonton. Dapat dipastikan bahwa setiap pertunjukan minimal dihadiri sekitar 10.000 orang.

Seni profetik sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam sebenarnya mampu ber­adaptasi dengan perubahan budaya yang terjadi. Karena itu, tidak perlu di­pertanyakan apakah seni tersebut mun­cul dalam bentuk sastra kontemporer, musik kontemporer, atau teater kontem­porer. Justru dengan munculnya kreati­vitas bentuk seni seperti ini, nilai-nilai Islam akan tetap lestari, tetap diminati, dan tetap aktutal. Yang terpen­ting adalah bagaimana seniman dengan produk kesenian yang dihasilkan mam­pu mengekspresikan ruh (af’idah, spiritu­alisme) dalam konsep ke’sini’an dan ke­’kini’an (Endang Saifudin Anshari, 1993: 42). Inilah peluang yang harus di­kembangkan oleh seniman Islam.

Pengembangan se­ni dengan nilai-nilai profetik Islam ini bu­kannya tanpa tantangan. Tantangan per­tama justru banyak berasal dari intelek­tual muslim atau kalangan ulama sendiri yang memandang bahwa bentuk-bentuk seni kontemporer cenderung bersifat syubhat (lih. diskusi estetika Islam dalam (Yustiono [ed], 1993: 66). Barangkali mun­culnya pandangan seperti ini secara tidak langsung melahirkan “ketakutan” bagi seniman muslim untuk mengoptimalkan kreativitas seninya dengan label seni Is­lam. Sebagai ilustrasi, kita mengakui bah­wa pertunjukan wayang kulit bukanlah seni Islam, bahkan bisa disebut sebagai seni agama Hindu. Namun berkat krea­tivitas para wali, konsep pakem lakon pertunjukan wayang kulit diubah de­ngan memasukkan nilai-nilai profetik ajaran Is­lam. Menyebarnya Islam di Jawa khu­susnya, di antaranya adalah berkat per­tunjukan wayang kulit.

Dalam konteks ke’kini’an, per­tunjukan wayang kulit, cenderung dili­hat dari kerangka historis. Para intelek­tual muslim atau ulama, tampaknya ti­dak interes terhadap keberadaan wayang kulit sebagai media dakwah Islam, apa­lagi terlibat dalam proses kreatif pengem­bangan pakem-pakem pertunjukan. Adanya indikator ini, tampaknya dilihat oleh pemeluk agama lain sehingga me­reka mulai memanfaatkan pertunjukan wayang kulit sebagai media dakwahnya. Jika hal ini terjadi, sungguh merupakan kerugian besar bagi umat Islam Indone­sia.

Tantangan kedua, dapat dilihat dari ke­mampuan seniman muslim sendiri. Dari segi kuantitas, seniman Indonesia yang beragama Islam sangatlah besar. Namun kemampuan, pemahaman, dan kesadar­an untuk menghasilkan produk seni yang secara substansial bermuatan nilai-­nilai profetik Islam sangatlah terbatas. Dalam seni sinematografi sebagaimana diulas Abdurrahman Wahid (1983: 52) disebutkan bahwa apa yang disebutnya sebagai seni film Islam apabila di dalam­nya memuat visualisasi normatif atau formalitas seperti gambar masjid, wudhu., sembahyang, mengaji, berdoa, dan lain­nya. Insan film jarang menampilkan po­tret Islam dalam arti refleksi esensi keyakinan kebenaran ajaran. Film-film dak­wah Islam Indonesia seperti Panggilan Tanah Suci, Atheis, Wali Songo, adalah con­toh kongkrit lebih ditonjolkannya for­malitas daripada esensi. Kenyataan ini oleh Abdurrahman Wahid disebut seba­gai hambatan kolosal dunia perfilm Indo­nesia. Hal tersebut jauh berbeda dengan model penggarapan film asing, meski­pun dengan tema yang sama. Misalnya saja film-film yang digarap Moustapha Akkad seperti The Message, Lion of the De­sert, Ten Commandement. Pesan keagama­an yang bersumber pada nilai-nilai Islam dapat divisualisasikan secara utuh, sehingga menampilkan “inilah esensi kebenaran Islam”. Padahal aktor yang memainkan bukan aktor muslim, misalnya Steve McQuin. Apalagi jika di­bandingkan dengan film-film dakwah agama lain, jelas kita sangat ketinggalan. Film-film seperti The Priest of St. Pauli, Boys Town, Our Lady of Fatima, The Singer not the Song merupakan contoh film yang mampu memberikan potret agama Kris­ten sebagai sebuah kebenaran yang men­dasarkan pada konflik-konflik kehidup­an keseharian dan kekinian.

Tuntutan ter­hadap kreativitas seni profetik ternyata tidak harus dilandasi eksplisitas normatif keagamaan. Yang penting adalah bagai­mana esensi kebenaran Islam mampu di­reaktualisasi dalam konteks ke’kini’an dan ke’sini’an. Inilah barangkali salah sa­tu tantangan kreativitas seniman muslim dalam menyiasati perubahan yang ter­jadi.

Pengembangan kesenian Islam tam­paknya perlu penanganan yang lebih se­rius. Secara historis dapat dilihat bahwa seni merupakan salah satu media efektif dalam mengembangkan dakwah Islami­yah. Nilai- nilai profetik Islam yang ber­sifat universal dan tidak membedakan lintas ruang dan waktu, sudah saatnya lebih dikembangkan melalui media ke­senian bernama seni profetik. Hal tersebut di samping dimak­sudkan sebagai sosialisasi nilai-nilai Islam, juga sebagai bagian pembentukan peradaban muslim pasca modernisme. Kekosongan nilai-nilai pada peradaban modern dan bangkitnya masyarakat un­tuk mengembangkan peradaban dengan nilai-nilai humanis dan religius, sebenarnya merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengedepankan nilai- nilai profetik Islam sebagai alternatif dalam segala matra kehidupan. Mampu dan beranikah kita memanfaatkan peluang dan tantangan tersebut.

 

Kesimpulan

1.    Estetika dan seni merupakan konsep epistemologi yang belum banyak mempunyai tempat mapan dan applicable di dalam Islam, baik secara filosofis (estetika ataupun filsafat seni Islam, yang merumuskan nilai keindahan sesuai ajaran Islam), teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam atau seni Muslim), praktis (kajian tentang teknik-teknik perbidang) dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat Muslim termasuk di dalam dunia pendidikan. Al-Faruqi di dalam karya monumentalnya The Cultural Atlas of Islam, telah melakukan pembahasan yang sangat mendasar dan merumuskan secara komprehensif tentang bagaimana estetika Islam itu dan apa seni Islam itu. Pengklasifikasiannya terhadap produk estetis dilakukan secara konsisten dengan dasar pandangan tauhid yang ia ajukan. Al-Faruqi juga mengadvokasi satu jenis seni tertentu dan menolak jenis seni yang lain yang ada dalam sejarah Islam. Bagi Faruqi seni bukan untuk seni. Seni merupakan ekspresi estetis yang akan menghantarkan kesadaran penikmat seni kepada ide transenden. Demikian juga dengan Rumi melalui kreasi dan apresiasi keindahan dalam suatu karya seni ikut menghantarkan Rumi mengalami pengembaraan dalam alam spiritual, di mana keluar dari alam bentuk dan masuk ke dalam alam tanpa bentuk dan sarat dengan makna. Kondisi ini membawa pencerahan pada manusia dan kembali ke pusat sistemnya, kemudian mengalami kehidupan sebagai keseluruhan di mana manusia menjadi satu bagiannya.

2.     Agama dan paradigma profetik sebenarnya memiliki jalinan struktur yang erat. Paradigma profetik lebih banyak menggunakan rasio dalam memaknai fenomena qauliyah dan kauniyah untuk difungsikan dalam kehidupan nyata. Karena secara etik normatif rasio itu diciptakan, maka ia bertanggung jawab kepada penciptanya. Pada titik inilah agama dijadikan sebagai sandaran, terutama pada dimensi ketauhidannya yang dielaborasi dan diserap sebagai etika profetik. Singkatnya, teori pengetahuan yang dikembangkan itu berporos pada tali hubungan antara manusia dan Tuhan, yang memanifestasikan nilai transendental dan memihak pada eksistensi kehidupan sebagai pertanggung jawaban kepada yang maha Kuasa. Karena itu semua pemikir, terutama pemikir Muslim di dalam elaborasinya terhadap persoalan kesenian, maka yang muncul adalah sarana ekspresi seorang hamba untuk mengetahui eksistensi kehidupan secara transenden, di mana pada batas-batas tertentu masuk ke dalam ruang penghambaan yang menerobos dari jalan keshalehan berdasarkan paradigma estetikanya yang mencerahkan.

3.    Pengembangan kesenian Islam yang diformasi dalam seni profetik nampaknya perlu penanganan yang lebih serius. Secara historis dapat dilihat bahwa seni merupakan salah satu media efektif dalam mengembangkan dakwah Islamiyahnya, terutama di dalam wilayah pendidikan. Nilai – nilai profetik Islam yang bersifat universal dan tidak membedakan lintas ruang dan waktu, sudah saatnya diproduktifkan melalui media kesenian profetik. Hal tersebut di samping dimaksudkan sebagai sosialisasi nilai-nilai Islam, juga sebagai bagian pembentukan peradaban muslim pascamodernisme. Kekosongan nilai-nilai pada peradaban modern dan bangkitnya masyarakat untuk mengembangkan peradaban melalui dunia pendidikan dengan niali-nilai humanis dan religious, sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk mengedepankan nilai-nilai profetik sebagai alternatif dalam segala matra kehidupan.

 

 

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed M. Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. (Terj) Bandung: Mizan.

Audah, Ali. 1993. Kreativitas Kesenian dalam Tradisi Islam. Dalam Yustiono (ed). Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta:  Yayasan Festival Istiqlal.

Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains Esai-Esai Tentang Sejarah Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah.

Beg, M. Abdul Jabbar. 1988. Seni di Dalam Peradaban Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.

Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Dananjaya, James. 1983. Fungsi Teater Rakyat bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia, dalam Edi Sedyawati (ed). Seni dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Djamal, A. Noerhadi. 1995. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Telaah Refektif Qur’ani, dalam Ahmad Tafsir. Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.

Eliade, Mircea. 1987. The Encyclopaedia of Religion, New York: Macmillan.

Engineer, Asghar Ali. 1993. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fadjar, A. Malik. 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakata: LP3NI.

Faruqi, Ismail Raji al. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka.

Faruqi, Ismail Raji’. 1999. Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta: Bentang.

Fathul A. Husein. 2000. Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur. (artikel). Jakarta : Dhiyakarya.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan. Jakarta: Gramedia.

Garaudy, R. 1982. Janji-janji Islam alih bahasa H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Gazalba, Sidi, 1988, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan Seni Budaya Karya Manusia. Jakarta: Pustaka Alhusna.

Hadi, Abdul, WM.. 2006. Sunan Bonang dan Peranan Pemikiran Sufistiknya. (artikel). Jakarta : Paramadina.

Hossein, S. H. 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: al-Mawardi.

Iqbal, M. 2002. Reconstruction of Religious Thought in Islam. Yogyakarta: Jalasutra.

Iqbal, M. 1966. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought In Islam). alih bahasa Osman Raliby. Jakarta: Bulan Bintang.

Jassin, HB. 1995. Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi. Jakarta: Grafiti.

Kardiyanto, Wawan. 2006. Kesenian Prophetik. (artikel). Surakarta: Jurnal Gelar ISI Surakarta

Kattsoff, Louis, O. 1987. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kermani, Navid 2002. The Aesthetic Reception of the Quran as Reflected in Early Muslim History. dalam   Issa J Boullata (ed) Literary Structures of Religious Meaning in the Quran, Curzon: Curzon Press.

Khan, A. Warid. 2002. Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Istawa.

Kuntowijoyo. 194. Al-Qur’an Sebagai Paradigma. Wawancara dengan Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. V.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. 1997. Menuju Ilmu Sosial Profetik, dalam republika, 8 Agustus 1997.

Kuntowijoyo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Leaman, Oliver. 2005. Menafsirkan Seni dan Keindahan Estetika Islam. Bandung: Mizan.

Ma’arif, Syafi’i. Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan, dalam Muslih Usa. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Majlis Kebudayaan Muhammadiyah. 1995. Islam dan Kesenian. Yogyakarta: Lembaga Litbang PP Muhammadiyah.

Mami, Anak. Mengenal Leo Tolstoy dan Pandangannya Terhadap Seni. (artikel). http//www.anakmami.co.tv.htm.

Minorsky, V., 1959. Calligraphers and Painters, Washington DC: tnp.

Nasr, Sayyid Husein. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan.

Nasr, Sayyid Hussein. 1997. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasr, Sayyid Husein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Pustaka.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Menjelajah Dunia Modern. Bandung: Mizan.

Noeng, Muhadjir.1996. Pendidikan Islami Untuk Masa Depan Kemanusiaan. Cirebon: IAIN SGD.

O’dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: PT.CV. Rajawali.

Qardhawy, Yusuf. 1998. Seni dan Hiburan dalam Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Qardhawy, Yusuf. 2002. Islam Berbicara Seni. Terj. Wahid Ahmadi. Solo: Era Intermedia.

R.Pinat@cwcom.net, apakabar@radix.net.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, G. 1996. Modern Sociological Theory. New York: Mc. Graw – Hill Companies.

Rumi, Jalaluddin. 2001. Kisah Keajaiban Cinta (Renungan Sufistik Mutiara Diwan-I Syam- I Tabriz. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Saifuddin, A.M. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.

Sardar, Ziauddin. 2002. Rekayasa Masa Depan Muslim. Yogyakarta: Jendela.

Schimel, Amnemarie. 2002. Dunia Rumi (Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi). Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Schoun, F. 1981. Understanding Islam. London.

Siregar, Amir Meison. 2000. Rumi: Cinta dan Tasawuf. Magelang: Tamboer Press.

Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogjakarta : Pustaka Pelajar.

Strauss, Levi. 1990. Strukturalisme dan Teori Sosiologi. Yogjakarta: Insight Reference.

Sulaiman, Abdul Hamid Abu. 1994. Krisis Pemikiran Islam.  Terj. Rifyal Ka’bah. Jakarta: Media Dakwah.

Sumardjo, Jacob. 1983. Filsafat Seni. Bandung : ITB Badung.

Sutrisno, Mudji dkk. 2005. Teks-Teks Kunci Filsafat Seni. Yogyakarta: Galang Press.

Sutrisno, Mudji, S. J. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.

Syaristani, Muhammad. Tt. Kitab Milal wa Nihal. Volume. II.

Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung.

Waridi, 2006, Serpihan-Serpihan Kekaryaan Pembentuk Teori dan Penumbuh Keilmuan Karawitan, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar), ISI Surakarta, Surakarta.

Waters. 1994. Resources Engineering. Luigia P: academic Press.

 

4 comments on “KONSEP KESENIAN PROFETIK DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Tinggalkan Balasan ke Lephen Purwanto Batalkan balasan